top of page

Ketika Pasar Bukan Lagi Pasar: Renungan atas Arus Modernisasi dan Kemanusiaan

(Artikel ini termuat di Kompasiana pada tanggal 15 Juli 2020 sehingga perlu dipahami konteks masanya ketika dibaca kembali sekarang.)


Ketika kita berbicara mengenai pasar dalam keseharian, yang terbayang di benak mungkin adalah gambaran mengenai pasar tradisional dengan segala bentuk khasnya berupa deretan balai dan kios, jalanan becek, bau tak sedap dari tumpukan sampah, dan gersangnya lingkungan tanpa pendingin ruangan.


Gambaran ini sejatinya kurang dapat mendefinisikan pasar secara umum karena ia sebetulnya hanya mencakup apa yang kita sebut sebagai mayoritas "pasar tradisional" di Indonesia. Pasar secara umum nyatanya hanya sesederhana sebuah bentuk proses transaksi di antara para pelaku ekonomi dengan kebutuhan atau keinginan tertentu untuk dipuaskan (Purwanti dkk, 2012).


Kita dapat mengganti objek yang dipertukarkan, medium transaksi, dan bahkan mekanisme transaksinya dengan apapun tanpa mengubah esensi dari pasar itu sendiri.


Melalui dikotomi sederhana, kita biasa mengenal dua jenis pasar, yakni pasar tradisional dan pasar modern. Yang pertama dilengkapi dengan ciri-ciri yang sudah disampaikan di atas ditambah dengan praktik tawar-menawar, sedangkan yang belakangan dapat dikenali dari mekanisme swalayan, harga yang tak dapat ditawar-tawar, tata ruang yang lebih rapi dan nyaman, serta kualitas produk yang lebih baik dibanding pasar tradisional.


Arus modernisasi telah mengakibatkan pergeseran preferensi pengunjung yang berakibat pada semakin ramai dan banyaknya pasar modern serta semakin termarjinalkannya pasar tradisional.


Pemberitaan selama beberapa tahun belakangan memberikan gambaran nyata dari fenomena ini, di mana pasar tradisional pada akhirnya hanya memiliki dua pilihan: mengalihfungsikan lahannya untuk keperluan lain atau membuka diri terhadap modernisasi yang secara cepat atau lambat akan menggerus habis keunikannya.


Kritik terhadap marginalisasi dan alih fungsi pasar tradisional selama ini menyasar aspek ekonomi. Pertama, seperti yang diketahui, di dalam pasar tradisional kita tidak hanya menemukan pedagang dan pembeli yang bertransaksi, melainkan juga aktor-aktor penyangga lain seperti kuli lepas, tukang becak, dan tukang ojek yang turut mengais rezeki dari aktivitas perdagangan di pasar tradisional.


Berkurangnya jumlah pasar tradisional berikut aktivitas transaksi di dalamnya tentu berpengaruh secara negatif terhadap kesejahteraan para aktor individual ini.


Kedua, tak dapat dipungkiri bahwa pasar tradisional masih memegang peranan vital dalam menghubungkan kluster-kluster ekonomi di daerah, seperti misalnya komunitas petani, peternak, dan nelayan dari berbagai desa, agar dapat melakukan pertukaran dan memenuhi kebutuhan (bisa melalui transaksi menggunakan uang, bisa juga melalui barter).


Tanpa pasar yang dapat dipenetrasi dengan mudah seperti pasar tradisional, tentu masyarakat di daerah akan kesulitan untuk berkegiatan ekonomi.


Ketiga, pasar tradisional juga masih berfungsi sebagai indikator ekonomi nasional bagi pemerintah, di mana ketika terjadi penyimpangan harga, biasanya pemerintah akan masuk melalui pasar tradisional untuk melakukan stabilisasi harga.


Dengan semakin berkurangnya pasar tradisional, tentu pemerintah juga akan kekurangan kanal-kanal untuk melakukan stabilisasi semacam ini.


Tak heran, kegagalan dalam mengelola pasar tradisional yang umumnya berkorelasi dengan kegagalan dalam mengelola ekonomi suatu daerah, dapat menjadi sasaran empuk bagi rival politik untuk menyerang figur incumbent.


Akan tetapi, terdapat satu aspek lain dari pasar tradisional yang selama ini tidak begitu diperhatikan seintens aspek ekonomi, yakni aspek sosio-kultural. Jika kita memandang pasar tradisional dan pasar secara umum berdasarkan aspek ini, kita akan melihat bahwa di dalam pasar, perilaku dari para aktor ekonomi tidak hanya didorong oleh motivasi ekonomi, melainkan juga motivasi untuk bersosialisasi dan berkebudayaan secara lintas strata, kebudayaan, dan generasi. Apa maksudnya?


Jika kita melihat sejarahnya, di dalam pasar tradisional lazim ditemukan jalinan hubungan personal yang lebih intens dibanding sekadar hubungan antara penjual dan pembeli.

Dalam bertransaksi, para aktor terbiasa untuk mengisinya dengan percakapan ringan maupun diskusi panjang mengenai berbagai hal (Muhsinat, 2016), mulai dari kehidupan rumah tangga yang biasanya dibicarakan di antara para kaum ibu hingga isu politik yang biasa mengisi diskusi di warung kopi di antara tukang becak dan kuli lepas.


Di dalam pasar tradisional pula dahulunya para aktor gemar mengekspresikan identitas kulturalnya, entah melalui pakaian tradisional, bahasa daerah, maupun produk kuliner khas daerah masing-masing yang diperdagangkan.


Singkatnya kita dapat melihat bahwa pasar tradisional di Indonesia merupakan pusat dari berbagai kegiatan masyarakat dan sebetulnya memberikan pengakuan terhadap sifat multidimensional dari manusia itu sendiri.


Hal-hal semacam ini perlahan menghilang ketika pasar modern mulai menjamur. Menjamurnya pasar modern seperti misalnya supermarket, pusat perbelanjaan, dan sebagainya sejatinya merupakan pengejawantahan dari gelombang modernisasi dan birokratisasi yang didasari logika tentang progresivitas dan efisiensi.


Dengan munculnya arus urbanisasi, pertumbuhan pendapatan kelompok ekonomi menengah ke atas, dan ilusi pilihan yang melimpah, muncul keinginan di tengah masyarakat agar kegiatan belanja dapat menjadi semacam rekreasi yang secara bersamaan juga lebih efisien, nyaman, dan mudah (Fauza, 2017).


Di samping itu, kelompok bisnis besar juga menghendaki adanya suatu model pasar yang memiliki sistem tata kelola yang jelas dan terukur. Tendensi ini yang pada gilirannya menghendaki adanya sistem birokrasi yang jelas yang dapat diterapkan di dalam bentuk baru pasar.


Menurut Max Weber, birokrasi sejatinya adalah manifestasi dari keinginan untuk menciptakan tatanan tunggal yang dapat diberlakukan secara umum melalui sifat mendominasi, hierarkis, dan mengekang (Kalberg, 1980).


Adanya birokrasi memberi justifikasi terhadap normalisasi, rasionalisasi, dan internalisasi yang bersifat memaksa terhadap para aktor di bawah naungannya karena terdapat penekanan terhadap perlunya sebuah sistem untuk dapat menjadi andal, tepat, efisien, disiplin, dan stabil. Improvisasi pada tataran individu cenderung dilihat sebagai bentuk penyimpangan yang mesti dibalas dengan penghukuman.


Dengan kata lain, kita dapat melihat bahwa adanya birokrasi membuat keunikan pada tataran individu terkubur dalam-dalam.


Di lain tempat, Karl Polanyi sudah jauh-jauh hari memperingatkan kita terkait dampak buruk dari modernisasi di pasar. Adanya modernisasi cenderung membuat sisi substansial dari ekonomi sebagai turunan dari hubungan saling bergantung antara manusia dengan lingkungan dan sesamanya menjadi terlupakan, membuat kita pada akhirnya hanya memandang ekonomi sebatas dari sisi formalnya sebagai turunan dari hubungan logis antara means dan goals.


Konsekuensinya, Polanyi melihat bahwa bentuk pasar yang sekarang perlahan menggiring dalam suatu proses dehumanisasi, di mana kita menjadi semakin tidak manusiawi dari hari ke hari (Polanyi, 1957).


Sampai sejauh ini, pembaca mungkin berpikir, 'Apa iya sampai seperti ini dampaknya?' Betul bahwa kita mungkin dapat menunjuk berbagai contoh untuk membantah klaim Polanyi tersebut.


Bagaimana pun, saat kita berbelanja di mall-mall besar, dalam proses rekreasi tersebut kita senantiasa menjalin kedekatan dengan orang-orang yang turut serta berbelanja seperti misalnya keluarga atau teman.


Beberapa di antara kita juga mampu untuk tetap bersikap ramah terhadap pegawai mall dan bahkan menjalin hubungan personal dengan mereka. Dan bahkan jika kita mengamati keseharian para pegawai mall, tak jarang kita jumpai mereka mampu untuk tetap saling bergurau dan menjalin hubungan pertemanan di luar jam kerja. Selain itu, birokrasi yang digambarkan oleh Weber juga tidak semenyeramkan itu di tempat kerja. Jadi, bagaimana kelanjutannya?


Untuk dapat memahami bagaimana pandangan kedua orang tersebut memiliki dasarnya pada realitas pasar hari ini, menurut hemat penulis kita harus menelusuri sisi yang lebih halus dan subtil ketimbang yang nyata terpampang.


Kendati semua hal di atas betul adanya, kita tidak dapat memungkiri bahwa pada tataran yang lebih halus sisi antropologis manusia mengalami represi terselubung melalui serangkaian normalisasi yang bekerja di pasar modern.


Misalnya, ketimbang datang untuk mengekspresikan keunikan sosio-kultural, kita seringkali datang ke mall untuk mengetahui tren fashion terbaru dari toko baju populer.


Ketimbang berbelanja di toko langganan agar dapat bersosialisasi dengan penjaga toko yang sudah lama kita kenal, kita berbelanja di toko tertentu karena sedang ada diskon atau promo sejenis yang terlihat menggiurkan.


Juga, ketimbang mengobrol tak tentu arah dan topik dengan petugas kebersihan mall dalam rangka mengisi waktu, kita membatasi obrolan dengan hal-hal bersifat informatif seperti letak toilet dan lift menuju basement saja, seolah memang begitulah satu-satunya alasan kehadiran mereka untuk kita ajak bicara.


Ini mungkin terdengar aneh bagi pembaca. Bukankah memang seharusnya begitu adanya? Pertanyaannya, kata siapa? Jika mau direnungkan perlahan, sejak kapan semuanya menjadi demikian adanya?


Ketika kita mulai mempertanyakan ini sembari menyandingkan apa yang kita temui di pasar modern dengan pasar tradisional, kita akan mulai memahami apa yang sebetulnya ingin disampaikan oleh Weber dan Polanyi.


Mengapa pasar menjadi demikian adanya hari ini? Dari mana semuanya berasal? Bagaimana sampai bisa seperti ini? Siapa yang bertanggung jawab terhadap pergeseran ini? Akan jadi seperti apa pasar di kemudian hari?


Well, tulisan ini tidak akan menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Penulis hanya akan melemparkan kembali pencariannya kepada para pembaca. Selamat mencari!


Referensi

Fauza, M. (2017). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Ritel Tradisional dalam Menghadapi Ritel Modern di Kecamatan Medan Amplas. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Departmen Ekonomi. Medan: Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.


Kalberg, S. (1980, Maret). Max Weber's Types of Rationality: Cornerstones for the Analysis of Rationalization Processes in History. The American Journal of Sociology, 85(5), 1145-1179.


Muhsinat, D. (2016). Potensi Pasar Tradisional dalam Peningkatan Ekonomi Masyarakat menurut Perspektiff Ekonomi Islam (Studi Kasus Pasar Cekkeng di Kab. Bulukumba). Universitas Islam Negeri Makassar, Departmen Ekonomi Islam. Makassar: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Makassar.


Polanyi, K. (1957). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston, Massachusetts, Amerika Serikat: Beacon Press.


Purwanti, N. I., Khoerunnisa, R. Prasetyo, A. E., & Annisa, F. R. (2012). Mengkaji Perbandingan Pola Perilaku Konsumen di Pasar Modern (Retail) dan di Pasar Tradisional. Surabaya: Universitas Wijaya Kusumaa Surabaya.

Comments


Postingan: Blog2_Post
  • Instagram
  • Twitter
  • YouTube

©2022 Cafolio & Satya Anggara

bottom of page