Tahun Ajaran Virtual: Momentum Introspeksi Arah Pendidikan Nasional
- satyaangga0102
- Aug 4, 2022
- 7 min read
(Artikel ini termuat di Kompasiana pada tanggal 19 Juli 2020 sehingga perlu dipahami konteks masanya ketika dibaca kembali sekarang.)

Pernahkah Anda memikirkan apa arti dari pendidikan? Apa pula arti dari mendidik dan dididik? Lalu, apa artinya status sebagai peserta didik dan tenaga pendidik? Terakhir, dan tidak kalah penting, apa tujuan dari proses pendidikan yang ada saat ini, khususnya di Indonesia?
Dewasa ini, diskusi panjang mengenai serba-serbi dunia pendidikan lazim kita jumpai. Topiknya bisa dimulai dari biaya pendidikan, kurikulum dalam proses pendidikan yang hendak diterapkan, hingga siapa sosok yang pantas menjadi Menteri Pendidikan di periode kepemimpinan presiden berikutnya.
Semua punya opini, namun masalahnya kita tidak pernah bisa bersepakat dan secara konsisten membangun serta menjalani konstruksi pendidikan setiap kali dilakukan pergantian di sana-sini.
Tengok misalnya polemik kurikulum pendidikan formal yang rasa-rasanya selalu berganti wujud setiap kali ganti menteri atau rezim.
Tengok juga misalnya ketegangan antara peserta didik dengan pihak penyelenggara pendidikan terkait skema biaya pendidikan yang hampir selalu dihiasi dengan demonstrasi dan perdebatan panas.
Atau tengok juga masalah ketidaksetaraan fasilitas dan infrastruktur pendidikan di negara ini yang sampai saat ini belum terselesaikan dan malah menjadi semakin kronis semenjak diterapkannya aktivitas pendidikan dalam jaringan (daring) sehubungan dengan pandemi Covid-19 yang tak kunjung mereda.
Dalam situasi seperti saat ini, pemerintah memang sudah memutuskan untuk memperpanjang penyelenggaraan pendidikan daring setidaknya hingga akhir tahun 2020.
Konsekuensi logisnya, tahun ajaran baru untuk pertama kalinya diselenggarakan secara daring kendati berdasarkan refleksi terhadap penyelenggaraan di tahun ajaran sebelumnya, kendala infrastruktur dan adaptasi sumber daya manusia (SDM) masih menjadi momok yang belum terpecahkan.
Di tengah situasi ini, penulis sejenak ingin mengajak pembaca untuk menarik diri dari pasang-surut situasi saat ini dan merenungkan setidaknya dua hal yang lebih subtil.
Pertama, apa esensi dari sebuah proses pendidikan, utamanya pendidikan formal? Konsep pendidikan merupakan konsep besar yang sayangnya tidak banyak orang yang mau menguliknya lebih mendalam dan komprehensif.
Akibatnya, seringkali kita kehilangan arah dalam menghidupi prosesnya, baik sebagai peserta didik, tenaga pendidik, maupun spektator yang menyaksikan dari pinggir gelanggang pendidikan. Untuk itu, kita perlu kembali ke dasarnya untuk membangun kembali pemahaman yang lebih holistik.
Kedua, ke arah mana rezim saat ini hendak mengarahkan proses pendidikan itu sendiri? Pemerintah berulang kali menekankan niatnya untuk menyesuaikan proses pendidikan agar peserta didik dapat memiliki kompetensi yang sesuai dengan industri.
Namun berulang kali juga kita mendapati pemerintah hendak membentuk peserta didik, terutama di bangku kuliah, agar rajin melakukan riset, membuat publikasi ilmiah, dan berprestasi di kancah dunia.
Di luar itu, masih banyak tujuan pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini sehingga pada akhirnya pendidikan berubah menjadi toko kelontong yang dituntut untuk menyediakan apapun yang dikehendaki pemerintah. Padahal, ada kalanya beberapa aspek dari setiap cita-cita tersebut berkontradiksi dengan aspek lainnya.
Untuk menjawab pertanyaan pertama, penulis hendak mengajak pembaca untuk mengunjungi beberapa pengertian dasar mengenai pendidikan. Apa itu pendidikan?
Pendidikan pada dasarnya adalah upaya sistematis dalam rangka mengembangkan potensi dan kemampuan peserta didik agar dapat memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan jenjangnya. Proses pendidikan mencakup pengembangan potensi manusiawi berupa cipta, rasa, dan karsa untuk kemudian dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari (Priyanto, 2017).
Di sini pula kita dapat melihat bahwa proses pendidikan senantiasa diiringi oleh makna dan tujuan yang jelas.
Di masa sekarang, pendidikan adalah bagian integral dari kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sehingga perlu dikelola sedemikian rupa melalui kebijakan pendidikan nasional.
Hal ini secara rinci sudah tertuang dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Artinya, pendidikan tidaklah boleh diskriminatif serta harus dapat menjunjung HAM, nilai agama, nilai kultural, dan kemajemukan karena proses pemberdayaannya dapat berlangsung sepanjang hayat (Al Arifin, 2012). Hal ini juga sejalan dengan cita-cita yang terkandung di dalam UUD 1945 mengenai pencerdasan kehidupan berbangsa.
Yang kemudian (mungkin) belum didefinisikan dengan baik oleh konstitusi maupun rezim sehubungan dengan pendidikan adalah, aliran pendidikan seperti apa yang hendak diambil?
Salah satu "penyakit" yang penulis soroti dari masyarakat dan bangsa kita ini adalah kegemarannya untuk tetap berada dalam kategorisasi umum yang ambigu sembari merasa bahwa dirinya berbeda dengan bangsa lain.
Misalnya, dalam banyak buku mata pelajaran kewarganegaraan, kita seringkali mendapati bahwa dalam pembahasan mengenai ideologi, Pancasila diletakkan di luar segala bentuk kategorisasi, seolah ia adalah ideologi yang berbeda.
Tanpa bermaksud melecehkan Pancasila itu sendiri, penulis melihat bahwa di balik hal itu, terdapat keengganan dari kita untuk mengakui bahwa apa yang ada di dalam Pancasila sejatinya merupakan kumpulan poin dari ideologi bernegara yang berbeda-beda.
Hasilnya, dalam hubungan internasional seringkali kita gagap dalam berposisi secara tegas dan merugikan diri sendiri dalam berbagai kesempatan.
Penyakit psikologis yang sama kemudian menghinggapi pikiran kita saat hendak mendefinisikan arah pendidikan kita. Kita merasa pendidikan kita unik, namun enggan mengeksplisitkan perbedaan tersebut.
Padahal jika ditelusuri, terdapat banyak aliran pendidikan yang mustahil didamaikan ke dalam sistem holistik seperti yang dimimpikan oleh para pemangku kepentingan.
Berikut penulis merangkum beberapa secara singkat (Hardiyanti, 2011):
1. Pendidikan Progresif: Aliran ini mengakui dan mengembangkan progresivitas hidup, di mana pendidikan adalah sarana bagi manusia untuk bertahan hidup dan berkembang.
Sekolah dalam hal ini adalah bagian dari masyarakat yang bertugas untuk melestarikan kekhasan dalam masyarakat.
2. Pendidikan Esensialis: Berlawanan dengan pendidikan progresif, aliran ini menerima perubahan dan tidak terikat dengan doktrin apapun. Fokusnya ada di individu ketimbang masyarakat.
3. Pendidikan Perenialis: Aliran ini menekankan dua hal penting, yaitu pengembalian diri peserta didik menuju keadaan saat ini dan peran sentral tenaga didik dalam proses pendidikan.
4. Pendidikan Rekonstruksionis: Pendidikan adalah proses menyusun kembali tatanan saat ini di tengah krisis kebudayaan modern. Terdapat penekanan terhadap pembinaan daya intelektual dan spiritual yang sehat bagi setiap peserta didik.
5. Pendidikan Idealis: Dilatarbelakangi Plato, pendidikan idealis menekankan perlunya idealisasi konseptual dalam kegiatan belajar sehingga peserta didik mampu menarik ide-ide besar yang mampu memperkaya pikiran dan jiwa. Terdapat kebenaran sejati yang perlu digapai melalui proses pendidikan.
Tenaga didik dalam hal ini berposisi sebagai fasilitator yang mengajak peserta didik untuk aktif berdialektika dan mengasah daya kritisnya hingga mampu mencapai kebenaran sejati yang diasumsikan ada.
6. Pendidikan Realis: Aliran ini menekankan proses demonstrasi dalam rangka memahami fakta dan informasi mengenai dunia sekitar. Di sini diasumsikan sudah terdapat produk pengetahuan yang sudah mapan, menunggu untuk diserap oleh peserta didik.
7. Pendidikan Materialis: Bentuk ekstrem dari pendidikan realis ada pada pendidikan materialis di mana peserta didik sepenuhnya berurusan dengan fakta fisik berikut hukum sebab-akibat di dalamnya.
8. Pendidikan Pragmatis: Inti pragmatisme ada pada kebergunaan dan kebermanfaatan sebagai ukuran kebenaran. Pendidikan adalah proses kontinu, oleh karena itu peserta didik perlu secara aktif melakukan observasi ilmiah dan membaca kemungkinan masa depan dengan berpedoman pada tujuan yang jelas dan berarti. Luaran akhirnya, peserta didik dapat menjadi problem solver di masyarakat.
9. Pendidikan Eksistensialis: Pendidikan adalah sarana pembebasan bagi peserta didik sehingga ia dapat mendefinisikan dirinya secara bertanggung jawab.
Di samping bebas untuk menentukan masa depannya, peserta didik dibebaskan untuk memilih motivasi yang mendorongnya ke arah tujuannya.
10. Pendidikan Skolastis: Pendidikan adalah perwujudan kehidupan manusia yang perenialis dan esensialis. Terdapat norma spiritual yang harus dilestarikan melalui proses pendidikan di samping juga bangunan pengetahuan yang mesti dikembangkan.
Kendati demikian, model ini condong mengutamakan pendidikan karakter sehingga tidak jarang justru mengisolasi dirinya sendiri dari perkembangan keilmuan.
Masih terdapat banyak aliran, namun alangkah baiknya jika kita tidak terlalu lama bergumul dalam bagian ini.
Seperti yang dapat pembaca lihat di atas, proses pendidikan dapat mengambil banyak bentuk dan tujuan sehingga pada akhirnya menjadi problematik apabila kita sebagai Bangsa Indonesia belum kunjung memberikan definisi yang jelas atas arah pendidikan kita.
Di satu sisi kita dapat menganut pendidikan skolastis yang mengedepankan pendidikan karakter dan agama sebagaimana dijumpai di pesantren. Kita dapat pula menganut pendidikan yang sifatnya pragmatis atau materialis karena rezim sendiri menekankan "kerja, kerja, kerja".
Ini membawa kita sejenak menuju pertanyaan kedua. Hingga saat ini, belum jelas ke arah mana pendidikan hendak diarahkan oleh pemerintah. Penekanan terhadap kebergunaan di lapangan kerja membuat pendidikan kita seolah-olah digiring menuju model vokasional.
Namun pemerintah juga menuntut kampus dalam negeri mampu bersaing dalam pemeringkatan global, sesuatu yang menyiratkan perlunya pendidikan yang lebih berbasis kepada riset.
Ilustrasi yang paling mudah dapat kita ambil dari nasib Universitas Indonesia (UI) saat ini. Dahulu, UI pernah melakukan "spin-off" terhadap pendidikan vokasionalnya yang kemudian melahirkan Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) atas dasar keinginan untuk menjadi kampus riset.
Namun kemudian kembali muncul sekolah vokasional dalam bentuk baru di UI dalam perkembangan beberapa tahun kemudian. Ketidakjelasan arah ini ditambah juga dengan faktor lain yang lebih berbau ekonomi dan politik sehingga akhirnya situasi pendidikan menjadi lebih runyam dibanding seharusnya.
Jika pendidikan pada akhirnya adalah sebuah usaha untuk membentuk peserta didik sebagai bagian integral dari masyarakat di kemudian hari, maka sudah saatnya pula kita memilih secara tegas arah pendidikan nasional kita.
Melihat dari akar historis, antropologis, dan konstitusional bangsa ini, penulis melihat bahwa akan lebih baik jika kita mengadopsi model pendidikan rekonstrusionis.
Kendati betul bahwa masyarakat kita menjunjung tinggi nilai keagamaan dan budaya, generasi muda saat ini praktis sudah terekspos sepenuhnya dengan tatanan pergaulan global sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi redefinisi identitas bangsa secara radikal suatu saat.
Oleh karena itu, sistem pendidikan haruslah memungkinkan peserta didik untuk melakukan eksplorasi sebebas-bebasnya tanpa banyak kekangan, sensor, dan aturan mengenai hal-hal tabu.
Hal ini ditujukan agar peserta didik tidak hanya mampu mengakses beragam perspektif dan informasi yang berbeda-beda, namun juga mampu mengembangkan pikirannya sehingga ia dapat menjelma menjadi pribadi yang toleran terhadap perbedaan dan mampu berkolaborasi dalam perbedaan tersebut.
Tantangannya, seperti yang kita ketahui bersama, Indonesia saat ini tengah digempur oleh berbagai kepentingan sektoral di tingkat elit serta potensi radikalisme dan intoleransi yang kian menguat dalam diri sebagian kelompok.
Hal ini bukan hanya berpotensi mengarahkan pendidikan menjadi mekanisme untuk melakukan hegemonisasi, melainkan juga menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk membentuk segregasi sosial yang lebih parah lagi di masa depan.
Bolanya ada di tangan kita sebagai masyarakat dan pemerintah. Sebagai masyarakat, kita harus memutuskan generasi seperti apa yang ingin kita bentuk melalui proses pendidikan untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan nasional.
Dari sisi pemerintah, sudah saatnya pembahasan mengenai pendidikan dibawa ke ranah yang lebih filosofis agar kita tidak hanya disibukkan dengan teknikalitas yang bersifat jangka pendek, melainkan juga mampu menyudahi polemik kebijakan pendidikan yang senantiasa penuh kisruh.
Apapun hasilnya, sepertinya kita harus duduk bersama terlebih dahulu. Berhubung saat ini kita tengah berada dalam fase transisi dan adaptasi menuju sistem pendidikan daring, tidak ada salahnya untuk memanfaatkan momentum yang ada untuk sekalian merenungkan hal-hal mendasar ini.
Referensi
Al Arifin, A. H. "Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis Pendidikan di Indonesia" Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Vol. 1, No. 1 (Juni, 2012) 72 - 82.
Hardiyanti, Y. (2011). Filsafat dan Filsafat Pendidikan. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Priyanto, D. "Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme terhadap Praksis Pendidikan" JPII, Vol. 1, No. 2 (April, 2017) 177 - 191.
Comments